Jumat, 11 Januari 2013

ilmu pengetahuan umum


Sejarah Peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul SalehSukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi denganIbrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo keRengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

[sunting]Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maedadan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyobahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di DalatVietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh SoekarniB.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[2] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[3](sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

[sunting]Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi


Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain SoewirjoWilopoGafar PringgodigdoTabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoeduntuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

[sunting]Isi Teks Proklamasi

Naskah Klad
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-05
Wakil-wakil bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

[sunting]Naskah baru setelah mengalami perubahan

Di dalam teks proklamasi terdapat beberapa perubahan yaitu terdapat pada:
  • Kata tempoh diubah menjadi tempo
  • Kata Wakil-wakil bangsa Indonesia diubah menjadi Atas nama bangsa Indonesia
  • Kata Djakarta, 17-8-45 diubah menjadi Djakarta, hari 17 boelan 08 tahun '05
  • Naskah proklamasi klad yang tidak ditandatangani kemudian menjadi otentik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta
  • Kata Hal2 diubah menjadi Hal-hal
Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.

[sunting]Naskah Otentik

Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal² jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-'05
Wakil2 bangsa Indonesia.

[sunting]Teks pidato proklamasi kemerdekaan Indonesia


Tugu Proklamasi di jalan Proklamasi (dulu jalan Pegangsaan) tempat dibacakannya naskah proklamasi pada tahun 1945
Saudara-saudara sekalian!
Saya telah meminta Anda untuk hadir di sini untuk menyaksikan peristiwa dalam sejarah kami yang paling penting.
Selama beberapa dekade kita, Rakyat Indonesia, telah berjuang untuk kebebasan negara kita-bahkan selama ratusan tahun!
Ada gelombang dalam tindakan kita untuk memenangkan kemerdekaan yang naik, dan ada yang jatuh, namun semangat kami masih ditetapkan dalam arah cita-cita kami.
Juga selama zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak pernah berhenti. Pada zaman Jepang itu hanya muncul bahwa kita membungkuk pada mereka. Tetapi pada dasarnya, kita masih terus membangun kekuatan kita sendiri, kita masih percaya pada kekuatan kita sendiri.
Kini telah hadir saat ketika benar-benar kita mengambil nasib tindakan kita dan nasib negara kita ke tangan kita sendiri. Hanya suatu bangsa cukup berani untuk mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dalam kekuatan.
Oleh karena semalam kami telah musyawarah dengan tokoh-tokoh Indonesia dari seluruh Indonesia. Bahwa pengumpulan deliberatif dengan suara bulat berpendapat bahwa sekarang telah datang waktu untuk mendeklarasikan kemerdekaan.
Saudara-saudara:
Bersama ini kami menyatakan solidaritas penentuan itu.
Dengarkan proklamasi kami:

PROKLAMASI
KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA. HAL-HAL YANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN DISELENGGARAKAN DENGAN CARA SAKSAMA DAN DALAM TEMPO YANG SESINGKAT-SINGKATNYA.
DJAKARTA, 17 Agustus 1945
ATAS NAMA BANGSA INDONESIA
SUKARNO-HATTA

Jadi, Saudara-saudara!
Kita sekarang sudah bebas!
Tidak ada lagi penjajahan yang mengikat negara kita dan bangsa kita!
Mulai saat ini kita membangun negara kita. Sebuah negara bebas, Negara Republik Indonesia-lamanya dan abadi independen. Semoga Tuhan memberkati dan membuat aman kemerdekaan kita ini! [6]

[sunting]Cara Penyebaran Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas. Di samping itu, hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Namun dengan penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa proklamasi diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya ikuti pembahasan di bawah ini. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect our Constitution, August 17!(Hormatilah Konstitusi kami tanggal 17 Agustus!) Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi.

[sunting]Peringatan 17 Agustus 1945


Pengibaran bendera Merah Putih pada perayaan 17 Agustus
Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang,lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara masing-masing.

[sunting]Lomba-lomba tradisional

Perlombaan yang seringkali menghiasi dan meramaikan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI diadakan di kampung-kampung/ pedesaan diikuti oleh warga setempat dan dikoordinir oleh pengurus kampung/ pemuda desa

[sunting]peringatan Detik-detik Proklamasi

Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara. Peringatan ini biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Pusaka), pembacaan naskah Proklamasi, dll. Pada sore hari terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.

sejarah kerajaan islam di nusantara
Kerajaan Islam di Indonesia diperkirakan kejayaannya berlangsung antara abad ke-13 sampai dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong oleh maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan pedagang-pedagang Islam dari ArabIndiaPersiaTiongkok, dll. Kerajaan tersebut dapat dibagi menjadi berdasarkan wilayah pusat pemerintahannya, yaitu di SumateraJawaMaluku, dan Sulawesi.


SEJARAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA 
KERAJAAN SAMUDERA PASAI 
1. Sejarah
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di 
Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis 
keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, 
Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan  bangunan pusat kerajaan Samudera di 
desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara 
makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik alSaleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan Islam 
pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera 
Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik alSaleh.
Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 
1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di 
negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara 
rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, 
Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan 
bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar
Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, 
dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan 
Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera 
Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi 
di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga 
merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh 
Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.
2. Silsilah
1. Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M) 
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M) 
3. Sultan Ahmad Laidkudzahi 
4. Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M) 
5. Sultan Shalahuddin (1405-1412 M) 
6. ................................... 
3. Periode Pemerintahan
Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga 
16 M.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.5. Kehidupan Sosial-Budaya
Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan 
perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu 
kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik.  Sekelompok minoritas kreatif berhasil 
memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam 
bahasa Melayu. Inilah yang kemudian  disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut 
Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini 
diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra 
Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu  tersebut kemudian juga digunakan oleh 
Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang 
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. 
Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas 
permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah 
dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia 
Tenggara pada masa itu. 
Sumber:
1. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 12. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka. 1990
2. Profil Propinsi Republik Indoensia, DI Aceh. Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara. 1992.
3. Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan 
Informasi Aceh. 1999.KESULTANAN PERLAK 
1. Sejarah
Analisis dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia dipahami 
melalui sejumlah teori. Aji Setiawan, misalnya melihat bahwa Kesultanan Perlak datangnya 
Islam ke nusantara bisa ditelisik melalui tiga teori, yaitu teori Gujarat, teori Arab, dan teori 
Persia. Teori Gujarat memandang bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah 
melalui jalur perdagangan Gujarat India pada abad 13-14. Teori ini biasanya banyak 
digunakan oleh ahli-ahli dari Belanda. Salah seorang penganutnya, W.F. Stuterheim 
menyatakan bahwa Islam mulai masuk ke nusantara pada abad ke-13 yang didasarkan pada 
bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada 
tahun 1297. Menurut teori ini, masuknya Islam ke nusantara melalui jalur perdagangan 
Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa.
Teori Persia lebih menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara masyarakat 
Indonesia pada saat itu dengan budaya Persia. Sebagai contoh misalnya kesamaan konsep 
wahdatul wujud-nya Hamzah Fanshuri dengan al-Hallaj. Sedangkan teori Arab berpandangan 
sebaliknya. T.W. Arnold, salah seorang penganutnya berargumen bahwa para pedagang Arab 
yang mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7 atau 8 juga sekaligus 
melakukan penyebaran Islam di nusantara pada saat itu. Penganut teori ini lainnya, Naquib alAttas melihat bahwa bukti kedatangan Islam ke nusantara ditandai dengan karaktek Islam 
yang khas, atau disebut dengan “teori umum tentang Islamisasi nusantara” yang didasarkan 
pada literatur nusantara dan pandangan dunia Melayu. Di samping tiga teori umum di atas, 
ada teori lain yang memandang bahwa datangnya Islam ke nusantara berasal dari Cina, atau 
yang disebut dengan teori Cina.
Berdasarkan paparan teori-teori di atas, dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk ke 
Indonesia sejak abad 7 atau 8 M. Pada abad ke-13, Islam sudah berkembang pesat. Menurut 
catatan A. Hasymi, Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang 
berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, 
Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Nama Kesultanan Perlak sebagai sejarah permulaan masuknya Islam di Indonesia kurang 
begitu dikenal dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai. Namun demikian, nama 
Kesultanan Perlak justru terkenal di Eropa karena  kunjungan Marco Polo pada tahun 1293. 
a. Sejarah Masuknya Islam
Kesultanan Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses berdirinya 
tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera. Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di 
wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan 
keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari 
pasukan-pasukan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai 
Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang 
sekaligus membawa sejumlah da‘i yang bertugas untuk membawa dan menyebarkan Islam ke 
Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama 
lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong 
memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda 
Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja‘far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum Tansyuri, yang 
merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan mereka lahirlah  Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi 
sultan pertama di Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang semula 
bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai bentuk perhargaan 
terhadap jasa Nakhoda Khalifah.
b. Masa Permusuhan Sunni-Syiah
Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput  dari persaingan antara kelompok Sunni 
dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok  Muslim ini menyebabkan terjadinya 
perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil 
alih kekuasaan dari tangan pesaingnya. 
Aliran Syi‘ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. 
Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti 
Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok 
Syi‘ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi‘ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini 
menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan 
pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan 
utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi‘ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera 
Pasai. 
Sebagai informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu 
dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu kemudian 
memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh Ismail, Marah Silu 
kemudian menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga 
menganut paham Syafii, sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi 
Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal  sebagai raja yang sangat anti terhadap 
pemikiran dan pengikut Syi‘ah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3, 
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), 
terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam 
kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. 
Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang 
kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, 
terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan 
oleh kelompok Sunni. 
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. 
Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul 
Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi  pergolakan antara kelompok Syiah dan 
Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya 
itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, 
Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, 
Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan 
Berdaulat (986 – 1023). 
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah 
tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak 
berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan 
semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum 
Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak 
Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan 
perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran 
Sunni, namun sayangnya belum ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi 
pergolakan antar kedua aliran tersebut.2. Silsilah
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada rajanya, yaitu 
Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Perlak secara lengkap 
belum ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Pelak 
adalah sebagai berikut:
1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267
18. 18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul 
Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli 
(Syahir Nuwi).
3. Periode Pemerintahan
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik  Muhammad Amin Shah II Johan 
Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan 
dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, 
Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja 
Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul 
Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu 
dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang 
memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari 
al-Malik al-Saleh. 
4. Wilayah Kekuasaan
Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak 
hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur 
daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, 
Indonesia.5. Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat 
strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang 
sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang 
dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang 
tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka 
berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, 
ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. 
Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju. 
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari 
membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok 
pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita 
setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk 
mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
Sumber :
• Setiawan, Aji. 2006. “Islam Masuk ke Indonesia”, www.islamlib.com.
• Smith Alhadar, “Sejarah dan Tradisi Syiah Ternate”, www.fatimah.org.
• www.osdir.com.
• wikipedia.org. KESULTANAN MALAKA 
1. Sejarah
a. Pendiri
Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara 
berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih menganut 
agama Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya di Sumatera runtuh akibat 
diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut 
yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih  kurang tiga puluh keluarga. Raja dan 
pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih 
tinggi, karena itu, mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama 
penduduk asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang 
ramai. Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang 
juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal 
sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.
Rombongan pendatang juga telah menemukan biji-biji  timah di daratan. Dalam 
perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan daratan 
Sumatera. Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah 
beras. Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena 
persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka. Hal ini kemungkinan 
disebabkan teknik bersawah yang belum mereka pahami, atau mungkin karena perhatian 
mereka lebih tercurah pada sektor perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang 
mereka miliki. 
Berkaitan dengan asal usul nama Malaka, bisa dirunut dari kisah berikut. Menurut Sejarah 
Melayu (Malay Annals) yang ditulis Tun Sri Lanang pada tahun 1565, Parameswara melarikan 
diri dari Tumasik, karena diserang oleh Siam. Dalam pelarian tersebut, ia sampai ke Muar, 
tetapi ia diganggu biawak yang tidak terkira banyaknya. Kemudian ia pindah ke Burok dan 
mencoba untuk bertahan disitu, tapi gagal. Kemudian Parameswara berpindah ke Sening 
Ujong hingga kemudian sampai di Sungai Bertam, sebuah tempat yang terletak di pesisir 
pantai. Orang-orang Seletar yang mendiami kawasan tersebut kemudian meminta 
Parameswara menjadi raja. Suatu ketika, ia pergi berburu. Tak disangka, dalam perburuan 
tersebut, ia melihat salah satu anjing buruannya ditendang oleh seekor pelanduk. Ia sangat 
terkesan dengan keberanian pelanduk tersebut. Saat itu, ia sedang berteduh di bawah pohon 
Malaka. Maka, kawasan tersebut kemudian ia namakan Malaka.
Dalam versi lain, dikatakan bahwa sebenarnya nama Malaka berasal dari bahasa Arab Malqa, 
artinya tempat bertemu. Disebut demikian, karena di tempat inilah para pedagang dari  
berbagai negeri bertemu dan melakukan transaksi niaga. Demikianlah, entah versi mana yang 
benar, atau boleh jadi, ada versi lain yang berkembang di masyarakat.
b. Politik Negara
Dalam menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut 
paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan secara 
efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan diplomatik dan 
ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan internal dan eksternal 
Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit. 
Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai 
tindak lanjut dari politik negara tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah 
seorang putri Majapahit.   Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah)) tetap 
menjalankan politik bertetangga baik tersebut. Sebagai bukti, Sultan Mansyur Syah (1459—
1477) yang memerintah pada masa awal puncak kejayaan Kerajaan Malaka juga menikahi 
seorang putri Majapahit sebagai permaisurinya. Di samping itu, hubungan baik dengan Cina 
tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho 
datang ke Malaka untuk mempertegas kembali persahabatan Cina dengan Malaka. Dengan 
demikian, kerajaan-kerajaan lain tidak berani menyerang Malaka.
Pada tahun 1411, Raja Malaka balas berkunjung ke Cina beserta istri, putra, dan menterinya. 
Seluruh rombongan tersebut berjumlah 540 orang. Sesampainya di Cina, Raja Malaka beserta 
rombongannya disambut secara besar-besaran. Ini merupakan pertanda bahwa, hubungan 
antara kedua negeri tersebut terjalin dengan baik.  Saat akan kembali ke Malaka, Raja 
Muhammad Iskandar Syah mendapat hadiah dari Kaisar  Cina, antara lain ikat pinggang 
bertatahkan mutu manikam, kuda beserta sadel-sadelnya, seratus ons emas dan perak, 
400.000 kwan uang kertas, 2600 untai uang tembaga, 300 helai kain khasa sutra, 1000 helai 
sutra tulen, dan 2 helai sutra berbunga emas. Dari  hadiah-hadiah tersebut dapat ditarik 
kesimpulan bahwa, dalam pandangan Cina, Malaka adalah kerajaan besar dan diperhitungkan.
Di masa Sultan Mansur Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Li Po, putri Maharaja Yung 
Lo dari dinasti Ming, dengan Sultan Mansur Shah. Dalam prosesi perkawinan ini, Sultan 
Mansur Shah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan serombongan pengiring ke negeri China 
untuk menjemput dan membawa Hang Li Po ke Malaka. Rombonga ini tiba di Malaka pada 
tahun 1458 dengan 500 orang pengiring. 
Demikianlah, Malaka terus berusaha menjalankan politik damai dengan kerajaan-kerajaan 
besar. Dalam melaksanakan politik bertetangga yang baik ini, peran Laksamana Malaka  Hang 
Tuah sangat besar. Laksamana yang kebesaran namanya dapat disamakan dengan Gajah 
Mada atau Adityawarman ini adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar 
negeri mengemban tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina.
c. Hang Tuah
Hang Tuah lahir di Sungai Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan ibunya 
bernama Dang Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan 
penangkap ikan.
Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia dibesarkan. Dia berguru di 
Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih muda, Hang Tuah sudah menunjukkan 
kepahlawanannya di lautan. Bersama empat orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat, 
Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan perahu-perahu 
bajak laut di sekitar perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh 
lebih kuat.
Karena kepahlawanan Hang Tuah dan kawan-kawannya tersebut, maka Sultan Kerajaan 
Malaka mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri kemudian diangkat 
menjadi Laksamana Panglima Angkatan Laut Kerajaan Malaka. Sedangkan empat orang 
kawannya tersebut di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan Malaka yang tangguh.
Dalam pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana Hang Tuah dikenal memiliki 
semboyan berikut.
1. Esa hilang dua terbilang
2. Tak Melayu hilang di bumi.
3. Tuah sakti hamba negeri.Hingga saat ini, orang Melayu masih mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir 
menjadi mitos. Namun demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di 
Malaka dan dimakamkan di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep.
d. Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam
Sebelum muncul dan tersebarnya Islam di Semenanjung Arabia, para pedagang Arab telah 
lama mengadakan hubungan dagang di sepanjang jalan  perdagangan antara Laut Merah 
dengan Negeri Cina. Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan pada 
perkembangan perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan 
mereka di kawasan timur semakin besar.
Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak dijumpai di pelabuhan Negeri Cina. 
Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah satu tempat tinggal para pedagang 
Arab. Pada abad IX, di setiap pelabuhan yang terdapat di sepanjang rute perdagangan ke 
Cina, hampir dapat dipastikan ditemukan sekelompok  kecil pedagang Islam. Pada abad XI, 
mereka juga telah tinggal di Campa dan menikah dengan penduduk asli, sehingga jumlah 
pemeluk Islam di tempat itu semakin banyak. Namun,  rupanya mereka belum aktif 
berasimilasi dengan kaum pribumi sehingga penyiaran agama Islam tidak mengalami 
kemajuan.
Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh para 
pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai menyebar di Malaka. Dalam 
perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 
1414 M. Dengan masuknya raja ke dalam agama Islam,  maka Islam kemudian menjadi 
agama resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam.
Selanjutnya, Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia 
Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah 
(1459—1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring  dengan perkembangan agama Islam. 
Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka  banyak yang memeluk agama Islam. 
Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan antarkeluarga.
Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa. Selama tinggal di 
Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa, secara 
tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, 
Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina 
Selatan).
Malaka runtuh akibat serangan Portugis pada 24 Agustus 1511, yang dipimpin oleh Alfonso de 
Albuquerque. Sejak saat itu, para keluarga kerajaan menyingkir ke negeri lain.  
2. Silsilah
Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut: 
1. Permaisura yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (1380—1424)
2. Sri Maharaja (1424—1444)
3. Sri Prameswara Dewa Syah (1444—1445)
4. Sultan Muzaffar Syah (1445—1459)
5. Sultan Mansur Syah (1459—1477)
6. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477—1488)
7. Sultan Mahmud Syah (1488—1551)3. Periode Pemerintahan
Setelah Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar 
Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan putri Sultan 
Zainal Abidin dari Pasai. Posisi Malaka yang sangat strategis menyebabkannya cepat 
berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Akhir  kesultanan Malaka terjadi ketika 
wilayah ini direbut oleh Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’albuquerque pada tahun 1511. 
Saat  itu, yang berkuasa di Malaka adalah Sultan Mahmud Syah. 
Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah abad. Sebenarnya, pada tahun 
1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal 
merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan 
Melayu segera memindahkan pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau, 
Kampar, kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah, dari dahulu 
bangsa Melayu ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah yang memecah belah 
persatuan dan kesatuan Melayu.
4. Wilayah Kekuasaan.
Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut:
1. Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan sebagainya).
2. Daerah Kepulauan Riau.
3. Pesisir Timur Sumatra bagian tengah.
4. Brunai dan Serawak.
5. Tanjungpura (Kalimantan Barat).
Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit secara diplomasi adalah sebagai berikut.
1. Indragiri.
2. Palembang.
3. Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan, dan Bunguran.KERAJAAN PAGARUYUNG 
1. Sejarah
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri, meliputi provinsi 
Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini berasal dari 
ibukotanya, yang berada di nagari Pagaruyung. Kerajaan ini didirikan oleh seorang pangeran 
dari Majapahit bernama Adityawarman pada tahun 1347. Kerajaan Pagaruyung menjadi 
Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an. 
Walaupun Adityawarman merupakan pangeran dari Majapahit, ia sebenarnya memiliki darah 
Melayu. Dalam sejarahnya, pada tahun 1286, Raja Kertanegara menghadiahkan arca  
Amogapacha untuk Kerajaan Darmasraya di Minangkabau. Sebagai imbalan atas pemberian 
itu, Raja Darmas Raya memperkenankan dua putrinya,  Dara Petak dan Dara Jingga untuk 
dibawa dan dipersunting oleh bangsawan Singosari. Dari perkawinan Dara Jingga inilah 
kemudian lahir Aditywarman.
Ketika Singosari runtuh, mucul Majapahit. Adityawarman merupakan seorang pejabat di 
Majapahit. Suatu ketika, ia dikirim ke Darmasraya sebagai penguasa daerah tersebut. Tapi 
kemudian, Adityawarman justru melepaskan diri dari  Majapahit. Dalam sebuah prasasti 
bertahun 1347, disebutkan bahwa Aditywarman menobatkan diri sebagai raja atas daerah 
tersebut. Daerah kekuasaannya disebut Pagaruyung, karena ia memagari daerah tersebut 
dengan ruyung pohon kuamang, agar aman dari gangguan pihak luar. Karena itulah, negeri 
itu kemudian disebut dengan Pagaruyung. 
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat menjelang perang Padri, meskipun 
raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, 
sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun 
resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri 
akibat konflik yang terjadi dan campur tangan kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki 
sistem politik semacam konfederasi yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai 
nagari dan luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam 
perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
2.Wilayah Kekuasaan
Wilayah pengaruh politik Pagaruyung dapat dilacak dari pernyataan berbahasa Minang ini:
dari Sikilang Aia Bangih
hingga Taratak Aia Hitam.
Dari Durian Ditakuak Rajo
hingga Sialang Balantak Basi.
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan 
dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak 
Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah 
wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.
3. Struktur Pemerintahan
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari yang merupakan satuan wilayah 
otonom. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas 
dalam memerintah. Misalnya nagari punya kekayaan sendiri dan memiliki pengadilan adat sendiri. Beberapa buah nagari terkadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah 
persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum 
penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Di daerah darek umumnya nagari-nagari ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai 
masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, 
dan warga nagari mengendalikan pemerintahan melalui para penghulu mereka. Keputusan 
pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu, setelah dimusyawarahkan terlebih 
dahulu.
Di daerah rantau seperti di Pasaman kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada rajaraja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura raja mengambil gelar sultan.
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah rantau. Ia boleh membuat peraturan 
dan memungut pajak di sana. Daerah-daerah rantau ini adalah Pasaman, Kampar, Rokan, 
Indragiri dan Batanghari. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung (di Luhak Nan Tigo) meskipun 
tetap dihormati ia hanya bertindak sebagai penengah.
Untuk melaksanakan tugas-tugasnya Raja Pagaruyung dibantu oleh dua orang raja lain, Raja 
Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Raja 
Adat memutuskan masalah-masalah adat sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah 
agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung yang disebut 
sebagai Raja Alam.
Selain kedua raja tadi Raja Alam dibantu pula oleh  Basa Ampek Balai, artinya orang besar 
yang berempat. Mereka adalah:
1. Bandaro (bendahara) atau  Tuanku Titah yang berkedudukan di Sungai Tarab. 
Kedudukannya hampir sama seperti Perdana Menteri. Bendahara ini dapat 
dibandingkan dengan jabatan bernama sama di Kesultanan Melaka 
2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik. Bertugas memelihara hubungan dengan 
rantau dan kerajaan lain. 
3. Indomo yang berkedudukan di Saruaso. Bertugas memelihara adat-istiadat 
4. Tuan Kadi berkedudukan di Padang Ganting. Bertugas menjaga syariah agama 
Tuan Gadang di Batipuh tidak termasuk dalam Basa Ampek Balai, namun derajatnya sama. 
Tuan Gadang bertugas sebagai panglima angkatan perang.
Sebagai aparat pemerintah masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu di 
mana mereka berhak menagih upeti sekedarnya. Daerah-daerah ini disebut rantau masingmasing. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat 
Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau 
di Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.
Sumber: 
• Wikipedia dengan perubahan struktur penulisan 
• Buku Minangkabau diterbitkan kerjasama Yayasan Gebu Minang.KERAJAAN SRIWIJAYA 
1. Sejarah
Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika 
George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. 
Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan 
Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. 
Namun, saat itu, Kern masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti 
tersebut sebagai nama seorang raja, karena  Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau 
gelar raja. 
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing,  Nan-hai-chikuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as 
Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat 
nama Sriwijaya, yang ada hanya  Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang 
memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama  Shih-li-fo-shih, Coedes 
kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. 
Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, 
dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya,  Notes on the Malay 
Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fots‘I adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 
bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota 
Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan 
sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.
Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti 
Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh 
kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar 
air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara 
sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat.  Dalam prosesi itu, pejabat yang 
disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai 
sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti  itu biasanya ditempatkan di pusat 
kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat 
Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya. 
Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh 
dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, 
Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar 
tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini 
menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini 
semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, 
yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang 
bentuknya teratur itu kemungkinan besar  buatan manusia, bukan hasil dari proses alami. 
Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang 
merupakan pusat kerajaan semakin kuat. 
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti 
pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di 
Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di 
pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh 
karena bahan itu  mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat 
ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat 
ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti 
di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari 
bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di 
Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. 
Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.Seiring perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya. 
Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904 
M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang 
Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti Kota Kapur 
merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci 
Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti 
perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Di 
tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan  wanua (perkampungan) yang diberi 
nama Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai 
pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi 
nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling 
sering dikutip adalah catatan I-tsing. Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang 
telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan 
I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat 
lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha 
tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. 
I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru 
ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya 
pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha 
dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan 
Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.     
Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan 
Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada  tahun 955 M. Dalam catatan itu, 
digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat 
banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, 
kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada 
masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti 
lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya  semakin menegaskan bahwa, pada 
masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para 
saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh 
sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya 
diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan 
Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan 
Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari 
kerajaan Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan 
Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun 
kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang. 
2. Silsilah
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan 
dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang 
berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan 
Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja 
Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama 
Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram 
Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi  Setu dengan Samaratungga, kemudian 
lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar 
silsilah para raja Sriwijaya:
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).
4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).
5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman 
keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan ini 
berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya 
kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.  
4. Wilayah Kekuasaan
Dalam sejarahnya, kerajaan Sriwijaya menguasai  bagian barat Nusantara. Salah satu faktor 
yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah 
runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang 
kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut 
Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan 
kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke 
pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di 
pulau Borneo. 
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der  Meulen di Pulau Bangka pada bulan 
Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha 
menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan 
Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu 
adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah 
kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan 
Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada 
Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan 
bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan 
bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, 
Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
5. Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang  oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga 
persyaratan yaitu:
1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan 
kesejahteraan pada rakyatnya.
3. Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu 
memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya. 
Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang 
bersifat transenden.Belum diketahui secara jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah satu 
pembantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas sebagai panglima 
perang.  
6. Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya
Sebagai kerajaan besar yang menganut agama Budha, di Sriwijaya telah berkembang iklim 
yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha tersebut. Dalam catatan perjalanan Itsing disebutkan bahwa, pada saat itu, di Sriwijaya terdapat seribu pendeta. Dalam perjalanan 
pertamanya, I-tsing sempat bermukim selama enam bulan di Sriwijaya untuk mendalami 
bahasa Sansekerta. I-tsing juga menganjurkan, jika  seorang pendeta Cina ingin belajar ke 
India, sebaiknya belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang), baru kemudian 
belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di Sriwijaya selama tujuh tahun 
(688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu  Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan
dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan (A Record of the Budhist Religion as Practised in India and 
the Malay Archipelago) yang selesai ditulis pada tahun 692 M. Ini menunjukkan bahwa, 
Sriwijaya merupakan salah satu pusat agama Budha yang penting pada saat itu. 
Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Buddha 
Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci 
agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja 
Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan prasasti Raja 
Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M. 
Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya) 
yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan tentang Raja Kataha 
dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa untuk 
dipersembahkan kepada sang Buddha yang berada dalam biara Cudamaniwarna, Nagipattana, 
India.
Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat 
baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari 
temuan mata uang Cina, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming 
(abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn alFakih  (902 M), Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, 
yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, 
timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini 
dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun dan kain sutra. 
Sumber :
1. Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LkiS
2. D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Usaha Nasional.
3. Ensiklopedi Nasional Indonesia
4. Tim Universitas Riau, Sejarah Riau, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
5. Rakaryan Sukarjaputra, Kompas: 29 Juni 2001
6. WikipediaKERAJAAN KUTAI 
1. Sejarah
Sejarah mengenai kerajaan Kutai berikut terbagi menjadi dua fase: (1), era Kutai 
Martadipura, dan (2), era Kutai Kartanegara. Berikut ini sekilas sejarahnya.
a. Kutai Martadipura
Berdasarkan data tektual tertua yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan tertua di 
Indonesia. Kerajaan ini diperkirakan muncul pada abad 5 M, atau ± 400 M. Keberadaan 
kerajaan tersebut diketahui berdasarkan prasasti  berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7 
buah, yang ditemukan di daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Prasasti Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta tersebut 
menceritakan tentang seorang raja bernama Mulawarman, yang menjadi raja di Kerajaan 
Kutai Martadipura. Raja Mulawarman adalah putra Raja Aswawarman, dan cucu dari Maharaja 
Kudungga. Pengetahuan mengenai keberadaan Kerajaan Kutai Martadipura ini sangat minim. 
Selama ini, para arkeologi amat bertumpu pada informasi tertulis yang terdapat pada prasasti 
dan Salasilah Kutai.
b. Kutai Kartanegara Ing Martadipura
Secara umum, penelitian sejarah mengenai Kutai amat kurang. Bahkan, situs purbakala 
tempat ditemukannya peninggalan Kerajaan Kutai banyak yang rusak akibat kegiatan 
penambangan. Periode gelap sejarah Kutai ini sedikit terkuak pada abad 13 ke atas, seiring 
berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara, dengan raja  pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti 
(1300-1325). Pusat kerajan berada di Tepian Batu atau Kutai Lama. 
Dalam perkembangannya, Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil 
menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan menyatukannya dengan 
kerajaannya, Kutai Kartanegara. Selanjutnya, gabungan dua kerajaan tersebut dinamakannya 
Kutai Kartanegara Ing Martadipura. 
Pada abad ke-17, Islam mulai mulai masuk dan diterima dengan baik di Kerajaan Kutai 
Kartanegara. Selanjutnya, Islam menjadi agama resmi di kerajaan ini, dan gelar raja diganti 
dengan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji 
Muhammad Idris (1735-1778).
Di era pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, ia bersama pengikutnya berangkat ke 
daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo Lamaddukelleng yang juga menantunya itu, 
berperang melawan VOC Belanda. Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh sebuah Dewan 
Perwalian. Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, 
tahta kerajaan direbut oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta kerajaan. 
Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Aji Imbut yang masih kecil terpaksa 
dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Aji Kado secara resmi berkuasa di Kutai dengan 
gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.  
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai 
Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada 
mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar 
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di 
Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan cara mengembargo Pemarangan, ibukota Kutai Kartanegara. 
Dalam perlawanan ini, Aji Imbut dibantu oleh para bajak laut dari Sulu. Pemarangan 
mengalami kesulitan untuk menumpas blokade Aji Imbut yang dibantu para bajak laut ini. 
kemudian Aji Kado meminta bantuan VOC, namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya, 
Aji Imbut berhasil merebut kembali tahta Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan gelar 
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Sementara Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di 
Pulau Jembayan. Setelah menjadi raja, Aji Imbut memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke 
Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghapus 
kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan juga, Pemarangan (ibukota sebelumnya) 
dianggap telah kehilangan tuahnya. Karena raja berpindah ke Tepian Pandan, maka nama 
Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung  yang berarti Rumah Raja. Lambat 
laun, Tangga Arung disebut orang dengan Tenggarong. Nama  tersebut tetap bertahan hingga 
saat ini. Pada tahun 1883, Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad 
Salehuddin.
c. Era Kolonial Eropa
Hubungan dengan Eropa diawali dengan datangnya dua buah kapal dagang Inggris pimpinan 
James Erskine Murray pada tahun 1844. Inggris datang untuk meminta tanah tempat mereka 
mendirikan pos dagang. Inggris juga menuntut hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di 
perairan Mahakam. Permintaan Inggris ditolak Sultan A.M. Salehuddin. Selanjutnya, Sultan 
hanya mengizinkan Murray berdagang di wilayah Samarinda saja. Murray tidak puas dengan 
keputusan Sultan ini. Karena itu, Murray kemudian melepaskan tembakan meriam ke arah 
istana. Pasukan kerajaan Kutai melakukan perlawanan hingga mereka berhasil mengalahkan 
Inggris. Pasukan Inggris melarikan diri, sementara Murray sendiri tewas dalam pertempuran 
tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak 
melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda, bahwa 
Kutai adalah salah satu bagian wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, masalah ini menjadi 
tanggungjawab Belanda. Sebagai tindak lanjut, Belanda kemudian mengirimkan armadanya 
untuk menyerang Kutai. Dalam pertempuran mempertahankan Tenggarong, Panglima Kutai 
Awang Lor gugur di medan pertempuran. Sementara Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke 
Kota Bangun. Sejak saat itu, Kutai takluk di bawah kekuasaan Belanda. 
Sebagai tindak lanjut, tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus 
menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang berisi pengakuan dan ketundukan pada 
Belanda. Perwakilan Belanda berkedudukan di Banjarmasin. Pada tahun 1863, kerajaan Kutai 
Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati 
bahwa, Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur 
tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak 
pertama di wilayah Kutai. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan 
kepada Sultan Sulaiman. 
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai kembali harus tunduk 
pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Ketika itu, Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo 
dengan nama kerajaan Kooti.
Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945.  Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status 
Daerah Swapraja, masuk dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah kesultanan 
lainnya, seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir. Kemudian dibentuk pula 
Dewan Kesultanan. Pada 27 Desember 1949, Kutai masuk dalam Republik Indonesia Serikat. 
2. Silsilah
Hingga saat ini, para arkeolog belum mengetahui secara lengkap silsilah para raja di era Kutai 
Martadipura. Tapi diyakini bahwa, pendiri keluarga  atau dinasti kerajaan ini adalah 
Aswawarman. Dalam prasasti Yupa juga dijelaskan bahwa, Aswawarman disebut sebagai 
Dewa Ansuman/Dewa Matahari dan dipandang sebagai Wangsakerta, atau pendiri keluarga 
raja. Ini menunjukkan bahwa, Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang 
sebagai pendiri keluarga atau dinasti dalam Agama Hindu. Sebelum Aswawarman, yang 
berkuasa di Kutai Martadipura adalah Maharaja Kudungga.
Berbeda dengan Kutai Martadipura, silsilah para raja di era Kutai Kartanegara yang berdiri di 
abad ke-13 bisa dilacak secara lengkap. Berikut urutan raja-raja yang berkuasa hingga saat 
ini.1. Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)
2. Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)
3. Aji Maharaja Sultan (1360-1420)
4. Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)
5. Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)
6. Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)
7. Aji Dilanggar (1610-1635)
8. Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)
9. Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)
10. Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)
11. Aji Ragi gelar Ratu Agung (1686-1700)
12. Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1730)
13. Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732)
14. Aji Muhammad Idris (1732-1778)
15. Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)
16. Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)
17. Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)
18. Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)
19. Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)
20. Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)
21. H. Aji Muhammad Salehuddin II (1999-kini)
3. Periode Pemerintahan
Jika dirunut, masa pemerintahan Kutai Martadipura berlangsung sejak masa Kudungga pada 
abad ke-5 hingga digabungnya kerajaan ini pada abad ke-13 ke dalam Kerajaan Kutai 
Kartanegara akibat kalah perang. Sementara Kerajaan Kutai Kartanegara berlangsung sejak 
abad ke-13 hingga saat ini.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kutai Martadipura mencakup wilayah Kalimantan Timur saat ini, terutama 
daerah aliran Sungai Mahakam. Sementara wilayah kekuasaan Kutai Ing Martadipura, 
mencakup wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai 
Timur, Bontang , Samarinda dan Balikpapan.
5. Struktur Pemerintahan
Belum didapat data arkeologis yang lengkap mengenai sistem dan struktur pemerintahan di 
Kerajaan Kutai. Dari data arkeologis yang menunjukkan pengaruh Hindu di Kerajaan ini, maka 
bisa disimpulkan bahwa Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja. Namun, tidak bisa dilacak 
lebih lanjut, bagaimana struktur pemerintahan yang lebih rendah.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura merupakan periode yang masih gelap. Sedikit sekali 
bukti-bukti arkeologis yang ditemukan untuk mngugnkap sejarah tersebut. Selama ini, bukti 
tersebut terlalu bersadnar pada penemuan 7 prasasti Yupa, ditambah naskah Salasilah Kutai. 
Namun, dari data yang masih sangat minim tersebut, bisa diungkap sedikit tentang kehidupan 
sosial budaya di masa lalu.
a. Kehidupan Sosial 
Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis antara Raja Mulawarman dengan 
kaum Brahmana. Dalam prasasti Yupa dijelaskan bagaimana Raja Mulawarman memberi 
persembahan emas yang sangat banyak, dan juga sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat 
suci untuk memuja dewa Syiwa. Di pulau Jawa, tanah suci ini disebut Baprakewara. 
Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi 
tersebut didatangkan dari tempat lain, maka, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah 
melakukan kegiatan dagang. 
b. Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah cukup maju. Hal ini bisa 
dilihat dari prosesi penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu), atau disebut juga 
upacara Vratyastoma yang telah dilakukan di kerajaan ini. Upacara Vratyastoma dilaksanakan 
pertama kalinya di era pemerintahan Aswawarman. Pemimpin upacara Vratyastoma, menurut 
para ahli adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman, 
kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana 
pribumi. Keberadaan kaum Brahmana dari penduduk pribumi menunjukkan mereka telah 
memiliki kemampuan intelektual yang cukup tinggi, sebab untuk menjadi Brahmana 
mensyaratkan penguasaan bahasa Sanskerta.
Selain itu, dari berbagai benda purbakala yang berhasil ditemukan di Kalimantan Timur, 
menunjukkan di kawasan tersebut telah eksis suatu komunitas budaya dengan peradaban 
yang cukup tinggi. Bahkan ada yang memperkirakan eksistensi komunitas budaya ini telah 
ada sejak ribuan tahun yang lalu, di masa pra sejarah. Di antara temuan yang sangat menarik 
adalah goa-goa di Kalimantan Timu, di kawasan Gunung Marang, sekitar 400 kilometer utara 
Balikpapan. Dalam goa tersebut, juga ditemukan pecahan-pecahan perkakas tembikar dan 
sejumlah makam. Goa yang berfungsi sebagai tempat tinggal ini juga dilengkapi dengan 
hiasan-hiasan atau lukisan purbakala pada dindingnya. Temuan ini diduga berasal dari zaman 
prasejarah yang telah berusia 10.000 tahun. Ini menunjukkan kawasan ini telah cukup maju. 
Dalam penggalian lain di situs sejarah Kerajaan Kutai, juga ditemukan berbagai artefak, 
seperti reruntuhan candi berupa peripih, manik-manik, gerabah, patung perunggu dan 
keramik yang sangat indah.
Sumber:
1. www.e-dukasi.net
2. www.KutaiKartanegara.com
3. Prasetyo Eko Prihananto, Sejarah Kita Berawal Dari Kutai, dalam Kompas 3 November 2004.KERAJAAN BANJAR 
1. Sejarah 
Penghuni pertama Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar, di 
kawasan pantai kaki Pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota 
bandar yang memiliki hubungan perdagangan dengan India dan Cina. Dalam 
perkembangannya, konsentrasi penduduk juga terjadi di aliran Sungai Tabalong. Pada abad ke 
5 M, diperkirakan telah berdiri Kerajaan Tanjungpuri yang berpusat di Tanjung, Tabalong. 
Jauh beberapa abad kemudian, orang-orang Melayu dari Sriwijaya banyak yang datang ke 
kawasan ini. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang. 
Selanjutnya, kemudian terjadi asimilasi dengan penduduk tempatan yang terdiri dari suku 
Maanyan, Lawangan dan Bukit. Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur 
dengan bahasa suku-suku daerah tempatan, yang kemudian membentuk bahasa Banjar 
Klasik.
Untuk mengetahui sejarah Banjar lebih lanjut, historiografi tradisional masyarakat tempatan 
sangat banyak membantu. Di antara sumber yang paling populer adalah  Hikayat Lambung 
Mangkurat, atau Hikayat Banjar. Berdasarkan sumber tersebut, di daerah Banjar telah berdiri 
Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha 
yang berpusat di daerah sekitar Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara 
Dipa adalah kerajaan pertama di Kalimantan Selatan.
Cikal bakal Raja Dipa bisa dirunut dari keturunan Aria Mangkubumi. Ia adalah seorang 
saudagar kaya, tapi bukan keturunan raja. Oleh sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam 
Hindu, ia tidak mungkin menjadi raja. Namun, dalam  pratiknya, ia memiliki kekuasaan dan 
pengaruh yang dimiliki oleh seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya adalah Ampu 
Jatmika, yang kemudian menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya 
yang tidak berasal dari keturunan raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan, 
seperti candi, balairung, kraton dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang ditempatkan 
di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah arca ini.
Ketika Ampu Jatmika meninggal dunia, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu Mandastana 
dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, sebab mereka bukan keturunan raja. Tapi 
kemudian, Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja, dengan cara mengawinkan 
seorang putri Banjar, Putri Junjung Buih dengan Raden Putera, seorang pangeran dari 
Majapahit. Setelah menjadi raja, Raden Putera memakai gelar Pangeran Suryanata, 
sementara Lambung Mangkurat memangku jabatan sebagai Mangkubumi.
Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha yang berpusat di Muara Bahan. Saat itu, 
yang memerintah di Daha adalah Maharaja Sukarama. Ketika Sukarama meninggal, ia 
berwasiat agar cucunya Raden Samudera yang menggantikan. Tapi, karena  masih kecil, 
akhirnya Raden Samudera kalah bersaing dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang 
juga berambisi menjadi raja. Atas nasehat Mangkubumi Aria Tranggana dan agar terhindar 
dari pembunuhan, Raden Samudera kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir 
sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk bersembunyi di 
daerah Muara Barito. Di daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang 
dikepalai oleh  para kepala suku. Di antara desa-desa tersebut adalah Muhur, Tamban, Kuwin, 
Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkampungan Melayu yang dibentuk oleh 
lima buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai 
Pangeran (Pageran). Semuanya anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah 
pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.
Orang-orang Dayak Ngaju menyebut orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan  Masih. 
Oleh karena itu, desa Banjar tersebut kemudian disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya 
disebut Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan kewajiban membayar pajak dan upeti. Hingga suatu ketika, Patih Masih mengadakan 
pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, agar 
bisa keluar dari pengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka merdeka dan besar.
Keputusannya, mereka sepakat mencari Raden Samudera, cucu Maharaja Sukarama yang 
kabarnya sedang bersembunyi di daerah Balandean, Sarapat. Kemudian, mereka juga sepakat 
memindahkan bandar perdagangan ke Banjarmasih. Selanjutnya, di bawah pimpinan Raden 
Samudera, mereka memberontak melawan kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-
16 M. Pemberontakan ini amat penting, karena telah mengakhiri eksistensi Kerajaan Daha, 
yang berarti akhir dari era Hindu. Selanjutnya, masuk ke era Islam dan berdirilah Kerajaan 
Banjar.
Dalam sejarah pemberontakan itu, Raden Samudera meminta bantuan Kerajaan Demak di 
Jawa. Dalam  Hikayat Banjar disebutkan, Raden Samudera mengirim duta ke Demak  untuk 
mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tersebut adalah Patih Balit, seorang 
pembesar Kerajaan Banjar. Utusan menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah 
sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin, 
seribu bongkah damar dan sepuluh biji intan. Pengiring duta kerajaan ini sekitar 400 orang. 
Demak menyambut baik utusan ini, dan sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan 
tersebut, agar Raja Banjar dan semua pembesar mau memeluk agama Islam. Atas bantuan 
Demak, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, penguasa Daha, 
sekaligus menguasai seluruh daerah taklukan Daha. 
Setelah berhasil meruntuhkan dan menguasai kerajaan Daha, maka Raden (Pangeran) 
Samudera segera menunaikan janji untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia memakai 
gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang. 
Dialah Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan  sejak itu, agama Islam berkembang 
pesat di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) diislamkan oleh wakil 
penghulu Demak, Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu jam 10 pagi, 
bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932 H. Khatib Dayan merupakan utusan Penghulu Demak 
Rahmatullah, dengan tugas melakukan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan. 
Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar sampai ia  meninggal dunia, dan dikuburkan di 
Kuwin Utara. 
Sultan Suriansyah telah membuka era baru di Kerajaan Banjar dengan masuk dan 
berkembangnya agama Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah kerajaan pasca 
masuknya agama Islam. Sementara era Negara Dipa dan Daha  merupakan era tersendiri 
yang melatarbelakangi kemunculan Kerajaan Banjar. Diperkirakan, Suriansyah meninggal 
dunia sekitar tahun 1550 M. Seiring masuknya kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar 
kemudian dihapuskan oleh Belanda pada 11 Juni 1860.
2. Silsilah 
Silsilah berikut dimulai dari era masuknya Islam di Kerajaan Banjar. Berikut silsilahnya:
• Raja I adalah Sultan Suriansyah,  putera dari pasangan Ratu Intan Sari atau Puteri 
Galuh dengan Raden Manteri Jaya. Suriansyah cucu Maharaja Sukarama Raja dari 
Kerajaan Negara Daha. Bergelar Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.
• Raja II adalah Sultan Rahmatullah, putera Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan 
Batu Putih
• Raja III adalah Sultan Hidayatullah, cucu Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan 
Batu Irang.
• Raja IV adalah Sultan Mustainbillah. 3. Periode Pemerintahan
Untuk mengetahui nama raja-raja Banjar yang pernah memerintah di Kerajaan Banjar serta 
periode pemerintahannya, dapat dilihat pada tabel berikut:
Raja Ke  Nama Raja  Masa Hidup  Periode Pemerintahan
I  Sultan Suriansyah  wafat 1550 M  1526 - 1550 M
II  Sultan Rahmatullah  -  1550 - 1570 M
III  Sultan Hidayatullah  -  1570 - 1595 M
IV  Sultan Mustainbillah  -  -
4. Wilayah Kekuasaan 
Setelah Pangeran Samudera atau Sultan Sariansyah berhasil meruntuhkan kerajaan Daha, 
maka seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Daha otomatis dikuasainya. Wilayah tersebut 
meliputi sepanjang Sungai Barito, Sungai Kuwin, Balabong, dan sebagian besar wilayah 
Kalimantan Timur.
5. Struktur Pemerintahan 
Untuk mengatur pemerintahan, Sultan dibantu oleh para Patih, Mufti dan Penghulu.
6. Kehidupan Sosial Budaya
Dalam kehidupan masyarakat Banjar terdapat susunan  dan peranan sosial yang berbentuk 
limas  (lapisan). Lapisan paling atas adalah golongan penguasa yang merupakan  golongan 
minoritas. Mereka adalah kaum bangsawan atau “bubuhan raja-raja”. Penghargaan 
masyarakat terhadap golongan bangsawan ini sesuai dengan derajat kebangasawanannya. 
Mereka, secara turun-temurun, menjadi golongan terhormat dan berdarah bangsawan, serta 
mempunyai gelar-gelar seperti sultan, pangeran, ratu, gusti, andin, antung, dan nanang. 
Golongan ini mempunyai hak memungut cukai dari hasil bumi, hasil pertanian, perikanan dan 
lain-lain.
Golongan kedua adalah pejabat kerajaan, ulama-ulama, mufti, dan penghulu. Golongan ini 
langsung berhubungan dengan penduduk. Segala macam  barang yang diperdagangkan 
mereka beli dari masyarakat dan dibayar dengan uang. Mufti sebagai pejabat formal 
mengurus segala perkara hukum pada tingkat tinggi. Sementar ulama-ulama menyampaikan 
ajaran agama Islam. 
Golongan ketiga merupakan golongan terbesar, yaitu  rakyat biasa. Mereka itu adalah 
golongan yang hidup dari pertanian dan perdagangan  kecil-kecilan, nelayan, kerajinan, 
industri, dan pertukangan. 
Golongan bawah adalah golongan  pandeling.  Golongan  pandeling  adalah mereka yang 
kehilangan setengah kemerdekaan akibat hutang-hutang yang tak dapat mereka bayar. 
Biasanya, merekalah yang menjalankan perdagangan dari golongan bangsawan atau 
pedagang-pedangan kaya. Golongan ini berakhir pada  abad ke-19,  seiring dengan 
dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda.
Berkaitan dengan kehidupan budaya, telah berkembang beberapa corak seni dan sastra. Saat 
itu, Banjar telah memiliki gamelan yang dipukul dengan lemah lembut, seni sastra berkembang dengan menggunakan huruf Arab Melayu (Jawi), dan kemungkinan, juga telah 
berkembang suatu seni, hasil perpaduan antara tonil Melayu dan cerita Seribu Satu Malam. 
Seni ukir berkembang karena adanya kebiasaan para bangsawan dan orang kaya untuk 
membuat rumah secara mewah, yang dipenuhi dengan ukiran indah. Corak seni lain yang juga 
telah berkembang dan amat kuat dipengaruhi kebudayaan Islam adalah mahidin dan balamut. 
Ini semua menunjukkan bahwa, di Kerajaan Banjar telah berkembang suatu seni budaya 
dengan coraknya yang khas.
Sumber:
1. Sejarah Banjar, 
2. Profil Republik Indonesia, Kalimatan Selatan. Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara. 1992
3. Depdikbud, Komplek Makam Sultan Suriansyah. 
4. Imansyah Mahbara, Komplek Makam Sultan Suriansyah, Depdikbud Kalsel, 1988KERAJAAN GOWA 
1. Sejarah
Menurut mitologi, sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian 
dari wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut 
Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan 
otonom tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling 
dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup berdampingan dengan 
damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan karena adanya kecenderugnan untuk 
menunjukkan keperkasaan dan semangat ekspansi. Untuk mengatasi perselisihan ini, 
kesembilan pemerintahan otonom ini kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara 
mereka yang diberi gelar Paccallaya. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini, 
karena masing-masing wilayah berambisi menjadi ketua Bate Selapang. Di samping itu, 
Paccallaya ternyata juga tidak mampu menyelesaikan  permasalahan yang terjadi. Hingga 
suatu ketika, tersiar kabar bahwa di suatu tempat yang bernama Taka Bassia di Bukit 
Tamalate, hadir seorang putri  yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh yang indah.
Mendengar ada seorang putri di Taka Basia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat 
itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma 
menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka 
menyebutnya Tomanurung. Lalu, Paccallaya bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada 
Tomanurung tersebut, “kami semua datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja 
kami, sudilah engkau menetap di negeri kami dan sombaku lah yang merajai kami”. Setelah 
permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To 
Gowa (sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).
Tidak lama kemudian, datanglah dua orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo  dan 
Lakipadada, masing-masing membawa sebilah kelewang. Paccallaya dan kasuwiyang 
kemudian mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat 
dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudain 
semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan 
kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga 
Tomanurung dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga 
Baraya lahir. Anak tunggal inlah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.
Kerajaan Gowa mencapai puncak keemasannya pada abad XVI yang lebih populer dengan 
sebutan kerajaan kembar “Gowa-Tallo” atau disebut pula zusterstaten (kerajaan bersaudara). 
Kerajaan Dwi-Tunggal ini terbentuk pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng 
Tumaparissi Klonna (1510-1545), dan ini sangat sulit dipisahkan karena kedua kerajaan telah 
menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua 
Raja tetapai satu rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan 
Makassar.
Masa kejayaan Kerajaan Gowa tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Karaeng 
Patingalloang, Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa 1639-1654. Nama lengkapnya adalah I 
Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng Nyonri 
Karaeng  Matowaya. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja 
Tallo, usianya baru satu tahun. Karaeng Pattingalloang diangkat untuk menjalankan 
kekuasaannya sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan 
disebutkan bahwa Karaeng Pattingalloang adalah Raja Tallo IX.
Karaeng Pattingalloang diangkat menjadi sebagai Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada 
tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid, yang memerintah pada tahun 1639-1653. 
Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi  Tumabbicara Butta Kerajaan pada hari Sabtu, 
tanggal 18 Juni 1639. Jabatan itu didapatkannya setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng Matowaya. Pada saat ini menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah 
kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.
Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi 
orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak 
bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa 
bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakilwakilnya di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus 
dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 
17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum  meninggalnya ia telah 
mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk 
menyerang Ambon. 
Karaeng Pattingolloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan 
Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang 
Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama 
Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang 
berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di 
kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, 
kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.
Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan 
yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah 
tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke 
tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, 
jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang 
memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.
Karaeng Pattingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika 
itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair 
berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji 
kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:
“Wiens aldoor snuffelende brein
Een gansche werelt valt te klein”
Yang artinya sebagai berikut:
“Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya 
terlalu sempit baginya”.
Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan  negarawan di masa lalu. 
Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan 
antara lain sebagai berikut:
Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa’rasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.
Yang artinya sebagai berikut :1. Apabila raja yang memerintah tidak  mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan 
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.  
Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah 
wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.
Dari sudut pandang terminologi, belum ada kesempatan (konsensus) arti kata  Gowa yang 
menjelaskan secara utuh asal-usul kata serapan  Gowa. Arti yang ada hanyalah asumsi dan 
perkiraan antara lain: pertama, kata  Gowa  berasal dari  “goari”, yang berarti kamar atau 
bilik/perhimpun; kedua, berasal dari kata “gua”, yang berarti liang yang berkait dengan 
tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I) di gua/perbukitan Taka Bassia, 
Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya tidak layu) yang kemudian secara politik kata Gowa
dipakai untuk mengintegrasikan kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang bersifat federasi 
di bawah  paccallaya, yang kemudian menjadi kekuasaan tunggal  Tomanurung, sehingga 
leburlah  Bate Salapang menjadi Kerajaan “Gowa” yang diperkirakan berdiri pada abad XIII 
(1320).
Sampai masa kekuasaan Raja Gowa VIII I Pakere’ Tau Tunnijallo ri Passukki, pemerintahan 
kerajaan dipusatkan di Taka Bassia (Tamalate) sebagai istana Raja Gowa I. Kemudian istana 
raja ini dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi 
yang bergelar Tumapa’risi Kallonna karena dianggap  lebih menguntungkan dan strategis 
sebagai kerajaan yang maju di bidang ekonomi dan politik. Pada masa inilah Kerajaan Gowa 
mulai memperluas kekuasaannya dan menaklukkan berbagai daerah sekitarnya termasuk 
menjalin hubungan kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lain. Hal ini 
berlangsung sampai Raja Gowa XII, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa 
(1565-1590). Ambisi itulah yang menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan besar. 
Bandar yang dimilikinya menjadi bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena 
telah memiliki berbagai fasilitas sebagaimana layaknya negara-negara besar lain di abad XVI 
dan XVII. Pada waktu itu pemerintah menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan teori 
Mare Leberum  (laut bebas) yang memberi jamina usaha para pedagang asing. Akan tetapi, 
ambisi itu pula yang menciptakan persaingan yang bersifat terselubung (laten) ketika ingin 
memegang hegomoni dan zuserenitas di Sulewasi, terutama persaingannya dengan Kerajaan 
Bone. Ketika persaingan itu memuncak, Belanda memanfaatkan situasi tersebut dengan 
melancarkan politik  devide et impera  (pecah belah dan kuasai) serta menerapkan sistem 
monopoli yang sangat bertentangan dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya perang 
Makassar (1666-1669).
Di sisi lain, agama Islam salah satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa berusaha 
mengintroduksi agama Islam. Usaha itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I Mangerangi Daeng 
Manrabbia Karaeng Lakiung bergelar Sultan Alauddin  Tumenanga ri Gaukanna  (1593-1639) 
yang menjadi muslim pada tanggal 9 Jumadil 1051 H atau 20 September 1605. Beliau 
berusaha mewujudkan penyatuan Sulawesi tetapi tidak terealisir sampai masa pemerintahan 
Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang berakhir dengan Pernjanjian Bungaya pada tanggal 18 
November 1667 setelah Perang Makassar.KESULTANAN TERNATE 
1. Sejarah
a. asal usul
Pulau Ternate merupakan sebuah pulau gunung api seluas 40 km persegi, terletak di Maluku 
Utara, Indonesia. Penduduknya berasal dari Halmahera yang datang ke Ternate dalam suatu 
migrasi. Pada awalnya, terdapat empat kampung di Ternate, masing-masing kampung 
dikepalai oleh seorang Kepala Marga, dalam bahasa Ternate disebut  Momole. Lambat laun, 
empat kampung ini kemudian bergabung membentuk sebuah kerajaan yang mereka namakan 
Ternate. Selain Ternate, terdapat juga kerajaan lain di kawasan Maluku Utara, yaitu: Tidore, 
Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda. 
Dalam sejarahnya, Ternate merupakan daerah terkenal penghasil rempah-rempah, karena itu, 
banyak pedagang asing dari India, Arab, Cina dan Melayu yang datang untuk berdagang. 
Sebagai wakil masyarakat, yang berhubungan dengan para pedagang tersebut adalah para 
kepala marga (momole). 
Bagaimana awal cerita pembentukan Kerajaan Ternate? Ceritanya, seiring semakin 
meningkatnya aktifitas perdagangan, dan adanya ancaman eksternal dari para lanun atau 
perompak laut, maka kemudian timbul keinginan untuk mempersatukan kampung-kampung 
yang ada di Ternate, agar posisi mereka lebih kuat. Atas prakarsa momole Guna, pemimpin 
Tobona, kemudian diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat 
dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. Hasilnya, momole Ciko, pemimpin 
Sampalu, terpilih dan diangkat sebagai  Kolano (raja) pertama pada tahun 1257 M dengan 
gelar Baab Mashur Malamo. Baab Manshur berkuasa hingga tahun 1272 M. Kerajaan Ternate 
memainkan peranan penting di kawasan ini, dari abad ke-13 hingga 17 M, terutama di sektor 
perdagangan. Dalam sejarah Indonesia, Kesultanan Ternate merupakan salah satu di antara 
kerajaan Islam tertua di nusantara, dikenal juga dengan nama Kerajaan Gapi. Tapi, nama 
Ternate jauh lebih populer dibanding Gapi.
b. Pembentukan Persekutuan
Sebagaimana disebutkan di atas, selain Ternate, di Maluku juga terdapat beberapa kerajaan 
lain yang juga memiliki pengaruh. Masing-masing kerajaan bersaing untuk menjadi kekuatan 
hegemonik. Dalam perkembangannya, Ternate tampaknya berhasil menjadi kekuatan 
hegemonik di wilayah tersebut, berkat kemajuan perdagangan dan kekuatan militer yang 
mereka miliki. Selanjutnya, Ternate mulai melakukan ekspansi wilayah, sehingga 
menimbulkan kebencian kerajaan lainnya. Dari kebencian, akhirnya berlanjut pada 
peperangan. Untuk menghentikan konflik yang berlarut-larut, kemudian Raja Ternate ke-7, 
yaitu Kolano Cili Aiya (1322-1331) mengundang raja-raja Maluku yang lain untuk berdamai. 
Setelah pertemuan, akhirnya mereka sepakat membentuk suatu persekutuan yang dikenal 
sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Hasil lain pertemuan adalah, kesepakatan untuk 
menyeragamkan bentuk lembaga kerajaan di Maluku. Pertemuan ini diikuti oleh 4 raja terkuat 
Maluku, oleh sebab itu, persekutuan tersebut disebut juga sebagai Persekutuan  Moloku Kie 
Raha (Empat Gunung Maluku).
c. Islam di Ternate
Diperkirakan, Islam sudah lama masuk secara diam-diam ke Ternate melalui jalur 
perdagangan. Hal ini ditandai  dengan banyaknya pedagang Arab yang datang ke wilayah 
tersebut untuk berdagang, bahkan ada yang bermukim. Selain melalui perdagangan, 
penyebaran Islam juga dilakukan lewat jalur dakwah. Muballigh yang terkenal dalam 
menyebarkan Islam di kawasan ini adalah Maulana Hussain dan Sunan Giri
Ada dugaan, sebelum Kolano Marhum, sudah ada Raja Ternate yang memeluk Islam, namun, 
hal ini masih menjadi perdebatan. Secara resmi, Raja Ternate yang diketahui memeluk Islam 
adalah Kolano Marhum (1465-1486 M), Raja Ternate ke-18. Anaknya, Zainal Abidin (1486-
1500) yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja, pernah belajar di Pesantren 
Sunan Giri di Gresik. Saat itu, ia dikenal dengan sebutan Sultan Bualawa (Sultan Cengkeh). 
Ketika menjadi Sultan, Zainal Abidin kemudian mengadopsi hukum Islam sebagai undangundang kerajaan. Ia juga mengganti gelar Kolano dengan sultan. Untuk memajukan sektor pendidikan, ia juga membangun sekolah (madrasah). Sejak saat itu, Islam berkembang pesat 
di Ternate dan menjadi agama resmi kerajaan.  
d. Kedatangan Penjajah Eropa
Orang Eropa pertama yang datang ke Ternate adalah Loedwijk de Bartomo (Ludovico 
Varthema) pada tahun 1506 M. Enam tahun kemudian, pada 1512 M, rombongan orang 
Portugis tiba di Ternate di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Ketika pertama kali datang, 
bangsa kulit putih ini masih belum menunjukkan watak imperialismenya. Saat itu, mereka 
masih menunjukkan itikad baik sebagai pedagang rempah-rempah. Oleh sebab itu, Sultan 
Bayanullah (1500-1521) yang berkuasa di Ternate saat itu memberi izin pada Portugis untuk 
mendirikan pos dagang.
Sebenarnya, Portugis datang bukan hanya untuk berdagang, tapi juga menjajah dan 
menguras kekayaan Ternate untuk dibawa ke negerinya. Namun, niat jahat ini tidak diketahui 
oleh orang-orang Ternate. Ketika Sultan Bayanullah  wafat, ia meninggalkan seorang 
permaisuri bernama Nukila, dan dua orang putera yang masih belia, Pangeran Hidayat dan 
Pangeran Abu Hayat. Selain itu, adik Sultan Bayanullah, Pangeran Taruwese juga masih hidup 
dan ternyata berambisi menjadi Sultan Ternate. Portugis segera memanfaatkan situasi dengan 
mengadu domba kedua belah pihak hingga pecah perang saudara. Dalam perang saudara 
tersebut, Portugis berpihak pada Pangeran Taruwese, sehingga Taruwese berhasil 
memenangkan peperangan. Tak disangka, setelah memenangkan peperangan, Pangeran 
Taruwese justru dikhianati dan dibunuh oleh Portugis. Kemudian, Portugis memaksa Dewan 
Kerajaan untuk mengangkat Pangeran Tabarij sebagai  Sultan Ternate. Sejak saat itu, 
Pangeran Tabarij menjadi Sultan Ternate. Dalam perkembangannya, Tabarij juga tidak 
menyukai tindak-tanduk Portugis di Ternate. Akhirnya, ia difitnah Portugis dan dibuang ke 
Goa-India. Di sana, ia dipaksa menandatangani perjanjian untuk menjadikan Ternate sebagai 
kerajaan Kristen, namun, ia menolaknya. Sultan Khairun yang menggantikan Tabarij juga 
menolak mentah-mentah perjanjian ini. 
Tindak-tanduk Portugis yang sewenang-wenang terhadap rakyat dan keluarga sultan di 
Ternate membuat Sultan Khairun jadi geram. Ia segera mengobarkan semangat perlawanan 
terhadap Portugis. Untuk memperkuat posisi Ternate  dan mencegah datangnya bantuan 
Portugis dari Malaka, Ternate kemudian membentuk persekutuan segitiga dengan Demak dan 
Aceh, sehingga Portugis kesulitan mengirimkan bantuan militer ke Ternate. Portugis hampir 
mengalami kekalahan. Untuk menghentikan peperangan, kemudian Gubernur Portugis di 
Ternate, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun untuk berunding. Berbekal kelicikan 
dan kejahatan yang memang telah biasa mereka lakukan, Portugis kemudian membunuh 
Sultan Khairun di meja perundingan.
Sultan Babullah (1570-1583 M) kemudian naik menjadi Sultan Ternate menggantikan Sultan 
Khairun yang dibunuh Portugis. Ia segera memobilisasi kekuatan untuk menggempur 
kekuatan Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia. Setelah berperang selama 
lima tahun, akhirnya Ternate berhasil mengusir Portugis untuk selamanya dari bumi Maluku 
pada tahun 1575 M. Dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia, ini merupakan kemenangan 
pertama bangsa Indonesia melawan penjajah kulit putih. 2. Silsilah
Berikut ini beberapa kolano dan sultan yang pernah berkuasa di Ternate. Data berikut belum 
lengkap, karena masih banyak nama sultan yang belum tercantum. Urutan nama-nama sultan 
disesuaikan dengan urutannya menjadi sultan.
1.   Kolano Baab Mashur Malamo (1257-1272)
7.   Kolano Cili Aiya (1322-1331)
17. Kolano Marhum (1465-1486)
18. Sultan Zainal Abidin (1486-1500)
19. Sultan Bayanullah (1500-1521)
20. Pangeran Taruwese
21. Pangeran Tabarij
22. Sultan Khairun (1534-1570)
23. Sultan Baabullah (1570-1583)
--   Sultan Mandar Syah (1648-1650)
--   Sultan Manila (1650-1655)
--   Sultan Mandar Syah (1655-1675)
--   Sultan Sibori (1675-1691)
--   Sultan Muhammad Usman (1896-1927)
48. Sultan Muhammad Jaber Syah 
49. Sultan Mudaffar Syah (1975-sekarang)
3.  Periode Pemerintahan
Ternate mencapai masa jaya pada paruh kedua abad ke-16 M, di masa pemerintahan Sultan 
Baabullah (1570-1583), berkat ramainya perdagangan  rempah-rempah. Saat itu, untuk 
menjaga lalu lintas perdagangan di kawasan tersebut, Ternate memiliki armada militer yang 
tangguh. Ketangguhan armada ini telah terbukti dengan keberhasilan mereka mengalahkan 
penjajah Portugis. Pada paruh kedua abad ke-17 M, sebenarnya kejayaan Kerajaan Ternate 
telah berakhir, seiring dengan mundurnya Sultan Mandar Syah dari singgasana kerajaan 
karena dipaksa oleh Gubernur VOC di Ambon, Arnold de Vlaming. Bahkan, ternyata Sultan 
bukan hanya dipaksa turun, tapi juga dipaksa untuk menandatangani perjanjian agar Ternate 
melepaskan seluruh klaim teritorinya di Maluku.
Hingga saat ini, Kerajaan Ternate telah berdiri lebih dari 750 tahun. Dalam usianya yang 
sudah begitu tua, Kesultanan Ternate masih tetap berdiri, walaupun keberadaannya tak lebih 
dari simbol belaka. Jabatan sultan sekarang ini tak memiliki wewenang, tapi tetap 
berpengaruh di masyarakat. Sultan Ternate saat ini  adalah Drs. Hi. Mudaffar Sjah, BcHk. 
(Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1975, dan merupakan sultan yang ke-49.
4. Wilayah Kekuasaan
Pada masa awal berdirinya, kekuasaan Kerajaan Ternate hanya mencakup beberapa kampung 
di Pulau Ternate. Seiring perkembangan, Ternate semakin maju dan mencapai masa jayanya 
di abad ke-16. Saat  itu, kekuasaan Kerajaan Ternate mencakup wilayah Maluku, Sulawesi 
Utara, Timur dan Tengah, Nusa Tenggara, Selatan Kepulauan Philipina (Mindanao) dan 
Kepulauan Marshal di Pasifik.
5. Struktur Pemerintahan
Sebagaimana diceritakan di atas, pada awal berdirinya, Kerajaan Ternate hanyalah kumpulan 
beberapa kampung. Saat itu, kepala kampungya disebut Momole. Ketika kampung-kampung 
ini bersatu membentuk sebuah kerajaan, pemimpinnya  disebut  Kolano  (raja). Ketika Islam 
mulai menyebar ke seluruh penjuru nusantara dan Raja Ternate kemudian memeluk Islam, gelar Kolano diganti dengan sultan. Kolano pertama yang memakai gelar sultan adalah Zainal 
Abidin. Sejak saat itu, pemimpin tertinggi di Ternate adalah sultan. Selanjutnya, karena 
kerajaan menggunakan hukum Islam, maka, ulama juga memegang peranan penting.
Untuk membantu Sultan menjalankan tugas-tugas kerajaan, kemudian dibentuk pula jabatan 
Jogugu  (perdana menteri) dan Penasihat Raja yang disebut  Fala Raha (empat rumah).  Fala 
Raha merupakan representasi empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung 
Kesultanan Ternate. Bisa dikatakan bahwa, Fala Raha sebenarnya pengganti empat momole di 
masa sebelum datangnya Islam. Masing-masing  raha dipimpin oleh seorang  Kimalaha. Di 
antara  Kimalaha tersebut adalah: Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan  Tamadi. Para pejabat 
tinggi istana berasal dari empat klan ini. Jika sultan tak meninggalkan pewaris, maka 
penerusnya dipilih dari salah satu klan yang empat  ini. Jabatan lain yang dibentuk untuk 
membantu tugas sultan adalah  Bobato Nyagimoi (Dewan 18),  Sabua Raha, Kapita Lau, 
Salahakan dan Sangaji.
6. Kehidupan Sosial Budaya
Ternate merupakan daerah yang terkenal penghasil rempah-rempah. Penduduk yang bertani 
adalah mereka yang tinggal di kawasan perbukitan, mereka menanam cengkeh, pala, kayu 
manis dan kenari. Cengkeh dari Ternate sangat terkenal karena kualitasnya yang baik. Di 
daerah yang agak rendah, penduduknya menanam kelapa. Masyarakat yang bermukim di 
pinggir pantai banyak juga yang menjadi nelayan. Selain petani dan nelayan, orang-orang 
Ternate juga banyak yang menjadi pedagang. Makanan  utama orang Ternate adalah beras, 
sagu atau ubi kayu (singkong) yang diolah khusus, dikenal dengan nama  huda, bentuknya 
mirip dengan irisan roti. Dari singkong, orang Ternate juga membuat  papeda. Beras yang 
dikonsumsi masyarakat Ternate berasal dari Pulau Halmahera, Makassar dan Manado. 
Jika direnungkan, sebenarnya peninggalan Ternate tidak sebanding dengan kebesaran 
namanya. Tidak ada warisan intelektual, arsitektur  ataupun seni berkualitas tinggi yang 
ditinggalkannya. Satunya-satunya warisan sastra yang ditinggalkan hanyalah  Dolo bololo se 
dalil moro. Sastra ini berbentuk puisi, peribahasa, ibarat, yang kebanyakannya berisi 
pendidikan moral tradisional. Padahal, sebagai bandar utama rempah-rempah di Maluku, 
Ternate sudah berhubungan dengan peradaban yang lebih maju seperti Jawa, Melayu, Cina, 
Arab dan Eropa. Namun, sepertinya hal itu tidak meninggalkan pengaruh.Berkaitan dengan 
absennya kebudayaan tulis, mungkin disebabkan Ternate selalu sibuk dengan urusan 
peperangan dan konflik. Sebelum Eropa datang, Ternate konflik dengan kerajaan sekitarnya 
karena memperebutkan hegemoni. Setelah bangsa Eropa datang, konflik terjadi dengan 
bangsa Eropa. Implikasinya, orang Ternate mencurahkan segenap energinya hanya untuk 
mempertahankan diri, sebab, konteksnya adalah: menyerang atau diserang. Karena alasanalasan inilah, maka seni budaya yang muncul di Ternate, seperti tarian cakalele, memiliki 
watak militer.
Sumber : members.virtualtourist.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar